((ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولاهم يحزنون. الذين آمنوا وكانوا يتقون)). يونس (62-63).
Ayat diatas mengandung pengertian bahwa wali Alloh adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat, ia berdo’a hanya kepada Alloh `Azza wa Jallaa semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, terkadang tampak padanya karomah ketika sedang dibutuhkan, yaitu karunia Alloh Ta`aala yang diberikan kepada wali-Nya, berupa perkara-perkara yang ada diluar kebiasaan manusia, yang demikian itu bisa terjadi akan tetapi ia tidak diminta untuk mendapatkanya, atau mempelajari wirid atau dzikir-dzikir tertentu untuk mendapatkannya, dan tidak pula dikatakan seorang wali, yang dapat berjalan diatas air atau berada disuatu tempat dengan tiga wajah atau sepuluh, sebagaimana pengakuan kaum-kaum tharekat, shufiyah yang sesat dan menyesatkan.
Padahal Imam Ibnu Katsir Rohimahulloh telah menyatakan :
إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء أو يطير في الهواء فلا تصدقوه ولا تغتروا به حتى تعلموا متابعته للرسول صلى الله عليه وسلم."
“Apabila kamu melihat seorang laki laki berjalan diatas air atau terbang di udara, janganlah kalian benarkan dia, dan jangan kalian mudah tertipu dengannya, sampai kalian mengetahui sejauh mana ittiba`nya terhadap Rasul ShollAllohu `alaihi wa Sallam.” [1]
Maka dari sini ada isyarat apabila kita melihat seorang yang tidak mempan dibacok, bisa terbang di udara, atau hilang dan tiba-tiba muncul disuatu tempat, jangan langsung kita mempercayai kejadian atau perbuatan dia yang demikian, namun kita perhatikan Din (agama)-nya, kalau dia seseorang yang sangat senang kepada kesyirikan, perdukunan, atau dia merupakan salah seorang yang berkerja sama dengan jin, atau dia merupakan peng`ibadat jin dan syaithon, pelaku bid’ah dan segala bentuk kema`siatan maka ia adalah wali syaithon.
Salah satu contoh wali Alloh Tabaaraka wa Ta`aalaa yang benar-benar wali adalah sahabat yang mulia Amirul Mu`miniin `Umar bin Khatthaab radhiAllohu `anhu yang pada saat itu mengutus Amru bin Al-`Ash menjadi guberbur di Mesir, di sana terdapat sungai Nil, dimana setiap tahunnya masyarakat Mesir memberikan tumbal seorang gadis perawan, agar sungai tadi bisa mengalir dan berjalan airnya dengan baik untuk pengairan irigasi mereka, sebab menurut pengakuan mereka sungai Nil tersebut tidak bisa berjalan dengan baik sebelum mendapatkan tumbal tersebut. Oleh karena itu, `Amru bin al `Ash radhiAllohu `anhu menulis surat kepada Amirul Mu`miniin `Umar bin Khatthaab radhiAllohu `anhu, maka `Umar bin Khatthaab pun membalas surat tersebut, yang berbunyi:
"من عبد الله عمر أمير المؤمنين إلى نيل أهل مصر أما بعد : فإن كنت إنما تجري من قبلك ومن أمرك فلا تجر، فلا حاجة لنا فيك، وإن كنت إنما تجري بأمر الله الواحد القهار وهو الذي يجريك فنسأل الله تعالى أن يجريك."
Artinya : “Dari `Abdullah `Umar amiiril mu`miniin kepada sungai nil penduduk Mesir adapun selanjutnya : “Wahai sungai nil kalau kamu berjalan dan mengalir sesuai dengan kehendakmu maka janganlah engkau berjalan atau mengalir, sebab kami tidak ada hajat padamu, akan tetapi hanyasanya mengalirnya kamu adalah semata-mata perintah Alloh al Waahidul Qahhaar, dan Dialah memerintahkan kamu untuk mengalir, maka kami meminta pada Alloh Ta`aalaa untuk menjalankan kamu.” [2]
Menurut persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib, padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Alloh Subhaana wa Ta`aalaa saja yang mengetahuinya, memang terkadang hal itu ditampakan pada sebagian Rasul-Nya `Alaihis Sholaatu was Sallaam, jika Dia menghendakinya, seperti Alloh `Azza wa Jalla tampakan kepada Rasul-Nya surga, neraka, serta para penghuninya. Alloh berfirman :
((عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا. إلا من ارتضى من رسوله...)). الجن (26-27).
Artinya : “Dialah Alloh Yang Mengetahui yang ghaib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya.” (QS. Al-Jin : 26– 27).
Dengan tegas, ayat diatas mengkhususkan para Rasul, dan tidak menyebutkan yang lain, sebahagian orang menyangka bahwa setiap kuburan yang dibangun diatasnya kubah adalah wali, padahal bisa jadi kuburan tersebut didalamnya adalah orang fasiq, atau bahkan mungkin tidak ada manusia yang dikubur didalamnya.
Membangun sesuatu bangunan diatas kuburan adalah diharamkan oleh Din Islam dalam sebuah hadist shohih ditegaskan :
عن جابر بن عبد الله الأنصاري قال : "نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر. وأن يقعد عليه. وأن يبنى عليه."
Artinya : Dari Jaabir bin `Abdillah al Anshooriy radhiAllohu `anhu berkata : “Rasuulullah ShollAllohu `alaihi wa Sallam telah melarang mengapur kuburan atau duduk di atasnya, atau dibangun sesuatu diatasnya.” [3]
Seorang wali bukanlah yang dikuburkan di dalam masjid, atau yang dibangun di atas kuburannya bangunan atau qubbah, hal ini justru melanggar ajaran syari’at Islam, demikian pula mimpi bertemu dengan mayit tidak merupakan dalil secara syar’iy atas kewalian dia, bahkan bisa jadi ia (mimpi tersebut) adalah bunga tidur yang berasal dari syaithon.
Allohu A`laamu bisshowaab-----------------------------------------------------
[1] Lihat kitab “A`laamussunnatil Mansyuurah Li`tiqaaditthooifatun Naajiyyatul Manshuurah”, hal. 255 karya as Syaikh Haafidz bin Ahmad al Hakamiy wafat 1377 H, cetakan keempat tahun 1316H/1996M, maktabatur rusyd ar Riyaadh. Berkata al Imam Haafidz : “Perkataan al Imam as Syaafi`iy ini telah ditampilkan oleh al Imam Ibnu Katsiir rahimahullahu Ta`aalaa dalam tafsirnya yang lafadznya sebagai berikut :
"وقد قال يونس ابن عبد الأعلى الصدفي قلت للشافعي : "كان الليث بن سعد يقول : "إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة،" فقال الشافعي :"قصر الليث رحمه الله بل إذا رأيتم الرجل يمشي على الماء ويطير في الهواء فلا تغتروا به حتى تعرضوا أمره على الكتاب والسنة."
Artinya : Sesungguhnya Yuunus ibnu `Abdil A`laa as Shodafiy telah berkata, saya berkata kepada as Syaafi`iy : al Laiits bin Sa`ad berkata : “Apabila kamu melihat seorang laki laki berjalan di atas air jangan kalian mudah tertipu dengannya, sampai kalian betul betul mencocokan perbuatannya dengan al Kitab dan as Sunnah,” kemudian al Imam as Syaafi`iy berkata : “Kurang perkataaan al Laiits rahimahullahu, bahkan apabila kamu melihat seorang lelaki………………, sebagaimana arti di atas. Lihat : “Tafsiir ibnu Katsiir” (1/78) dan “Syarhul `Aqiidatut Thohaawiyyah”, hal. 573.
[2] Lihat kitab “A`laamussunnatul Manshuurah”, hal. 252-253.
[3] Hadist ini dikeluarkan oleh : al Imam Muslim di “shohihnya” (2/667 no. 970), at Tirmidziy (3/368 no.1052), an Nasaaiiy (3/392 no.2028), Ibnu Maajah (1/498 no.1562), Ahmad di “musnadnya” (3/295,332,399). Seluruhnya dari jalan Jaabir bin `Abdillah al Anshooriy radhiAllohu `anhu.
Sumber : Buletin Jum'at Ta'zhim As-Sunnah Edisi II Rabi'u Tsani 1428 H